Zaman dulu, kalau ngomong “konten edukatif”, yang terbayang adalah guru berjas, papan tulis, dan penjelasan penuh istilah rumit.
Sekarang? Cukup orang pakai hoodie, ngomong lima belas detik dengan nada percaya diri, dan bilang “ternyata kamu salah paham soal ini, bro.”
Boom, jutaan views.
Tapi tunggu dulu, kenapa bisa begitu? Padahal isinya kadang bukan pelajaran baru, bahkan kadang keliru.
Jawabannya sederhana: orang datang ke konten bukan buat nilai, tapi buat validasi. Konten edukatif zaman sekarang bukan lagi tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling bisa bikin orang berkata “wah, gue juga ngerasain itu.”
Semakin relate, semakin ramai.
Dan ironisnya, yang paling ramai bukan di isi videonya, tapi di kotak komentarnya. Komentar adalah ruang debat, tempat curhat, dan sekaligus panggung kecil untuk ego digital manusia. Di situlah engagement hidup. Konten edukatif yang terlalu serius gagal memancing reaksi, karena audiens sekarang lebih suka diskusi daripada dikuliahi.
Jadi kalau kamu bikin konten dan berharap viral, jangan fokus bikin video yang sempurna seperti kelas online. Bikin sesuatu yang bisa memancing reaksi alami: “loh, emang gitu ya?” atau “nah ini baru bener.”
Karena di dunia digital, yang viral bukan yang paling pintar, tapi yang paling memicu percakapan. Dan di sinilah seni marketing digital bekerja.
Brand yang pintar bukan cuma mengedukasi, tapi membangun percakapan yang bermakna.
Bukan sekadar mengajar, tapi memancing audiens untuk ikut merasa bagian dari cerita. Di situ engagement berubah jadi kedekatan, dan kedekatan berubah jadi kepercayaan. Kalau kamu ingin tahu cara mengubah postingan edukatif jadi mesin engagement yang hidup, kamu bisa belajar dari tim solusimedsos.id.
Kami tidak sekadar bantu bikin konten yang informatif, tapi konten yang dibalas orang. Karena percuma pintar di layar kalau tidak ada yang peduli di kolom komentar.
Kesimpulan
Konten edukatif yang sukses bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling bisa mengundang obrolan. Audiens ingin merasa terlibat, bukan diajar. Jadi, ubah strategi: bukan “aku tahu lebih banyak”, tapi “ayo bahas bareng”.
Itu rahasia agar kontenmu tidak berhenti di views, tapi hidup di komentar.